Aam dan kecintaannya

Namanya Aam, lengkapnya Syamsiah. Pertama melihatnya, serasa tak ada yang istimewa. Biasa saja. Sama saja. Tak beda dengan mahasiswi lain yang baru diterima di Yasma Putri tercinta ini. Namun ketika berdialog dengannya, aku jadi tersenyum. Busyet deh, ngomongnya cepet banget! berapa kata per menit nih? Bagus juga sih, demi Gerakan Penghematan Waktu, dan demi latihan memusatkan perhatian dan pikiran. Kalo enggak, bisa gak ketangkap nih kata-katanya. Tentu saja sambil juga berlatih menahan diri untuk tidak menggodanya, “pakai koma dong Aam,” hehehehehe.Tapi bukan itu yang membuat aku jadi kangen padanya. Bukan itu yang membuat aku jadi merasa kehilangan. Bukan itu pula yang membuat aku ingin bertemu dengan yang serupa dengannya. Bukan itu. Bukan itu, teman.

Tapi inilah, ketika aku duduk disini dalam diam, menutup sholatku dengan salam, dan menyadari kesendirianku dalam barisan ini, padahal ada beberapa perempuan lain yang juga sedang mengunjungi Tuhannya. Mengapa tidak kita lakukan bersama? Mengapa kau biarkan aku melangkah sendiri? Mengapa tak kau ikuti langkahku? Dan mengapa aku tak menantimu datang, seperti Aam yang selalu mencari dan menunggu?

Seperti waktu itu, dia masuk ke kamarku, “kak intan udah sholat ashar?” tanyanya.

“Belum,” jawabku tanpa menatapnya.

“Berjamaah ya Kak?” katanya lagi.

Aku terdiam, menatapnya, merasa enggan untuk meninggalkan buku yang sedang kubaca. “Aam duluan aja. Kak Intan masih lama nih,” jawabku tak enak.

“Gak pa-pa, Aam tunggu aja,” katanya mantap.

Aam, Aam, aku tahu sholat berjamaah itu begitu tinggi keutamaannya, tapi mengapa aku tak mencintainya seperti kamu mencintainya?

“Baiklah,” kataku sambil menutup buku. “Kita sholat sekarang.” Wajahnya langsung berseri. Aku mengangkat bahu tak yakin, apakah ucapanku itu demi bersegera ‘bertemu’ Tuhan, atau hanya karena tak enak membiarkan sahabat satu ini menungguku lama.

Aam, Aam, aku kagum benar padamu. Besar nian cintamu pada sholat berjamaah. Hampir tak pernah kulihat kamu sholat sendirian. Selalu berjamaah di musholla atau masjid. Kalaupun tak sempat karena sesuatu hal, kamu rela mencari dari kamar ke kamar di asrama ini, siapa tahu ada teman yang belum sholat dan bisa diajak sholat bareng. Wuih! Semoga Allah mencintaimu temanku, amin.

Tapi sekarang, disinilah aku. Belum pernah lagi menemukan yang seperti kamu, yang seperti sahabat putri lain di Yasri. Disinilah aku, belum juga berhasil meneladani kecintaanmu. Disinilah aku, merasa tergagap ketika harus memaksa diri menjadi imam karena yang lain tak mau. Disinilah aku, menyimpan tanya, mengapa tak mau berimam bila terlambat datang ke barisan? Mengapa tak membentuk barisan sendiri bila tak ada pria di depan? Disinilah aku, diam dalam ketakmengertian, mengapa kita sia-siakan kesempatan memperoleh keutamaan? Disinilah aku, yang kadang merasa tak berdaya dengan keputusanku menjadi makmum dari seseorang yang ternyata begitu cepat bacaan dan gerakannya hingga aku merasa tergopoh-gopoh. Disinilah aku, sulit berkata melihat barisan sholat yang tak rapat dan tak rapi. Disinilah aku, merindukan kamu, merindukan orang-orang seperti kamu, seperti penghuni Yasri kita, Syuhada kita. Merindukan saat-saat itu. Damai dan erat dalam barisan kita…

Love Syuhada And You…

One thought on “Aam dan kecintaannya

Leave a comment